MKEK Sebut Metode Cuci Otak Terawan 'Cacat Besar'
Terawan Agus Putranto/DOK VOI

Bagikan:

DENPASAR - Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) menyebut metode digital subtraction angiography (DSA) atau cuci otak untuk pengobatan pasien stroke yang dimodifikasi oleh Terawan Agus Putranto punya masalah besar. 

Menurut Prof. Rianto Setiabudi, anggota MKEK sekaligus dokter spesialis farmakologi klinik, ada bagian-bagian tertentu dari disertasi 'Cuci Otak' Terawan yang mengandung kelemahan substansial 

Prof Rianto mengungkapkan, dosis kecil heparin yang digunakan dalam metode DSA Terawan tak berfungsi melarutkan bekuan darah pada otak pasien stroke. Melainkan hanya mencegah mampet bekuan darah pada ujung kateter yang berfungsi menunjukkan letak mampet.

"DSA itu suatu metode, metode radiologi memasukkan kateter dari suatu pembuluh darah di paha sampai ke otak. Di sana dilepaskan kontras. Kontras itu akan menunjukkan, di mana letak mampetnya itu. Nah, supaya ujung kateter itu tetap terbuka, diberikanlah sedikit dosis kecil heparin untuk mencegah bekuan darah di ujung kateter,"ujar Prof Rianto saat menjelaskan latar belakang yang mendasari pemberhentian mantan Menteri Kesehatan Terawan Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Senin, 4 April.

"Ketika itu digunakan, maka timbul masalah yang besar sekali yaitu yang digunakan ini adalah orang-orang stroke yang stroke-nya sudah lebih dari satu bulan," sambungnya. 

"Jadi bekuan darah itu sudah mengeras di situ dan tidak mungkin, kita cari di literatur mana pun, yang menunjukkan bahwa heparin efektif untuk merontokkan (atau) melarutkan bekuan darah," sambungnya.

Menurut Prof Rianto, yang bisa melarutkan bekuan darah pada pasien stroke hanyalah zat thrombolytic agents. Itu pun, kata dia, hanya efektif jika stroke baru berusia beberapa jam.

"Ini (metode DSA Terawan) sudah satu bulan lebih dan dipakainya bukan obat untuk meluruhkan itu. Jadi timbul masalah besar di situ," katanya.

Uji klinik metode 'Cuci Otak' Terawan tak punya kelompok pembanding 

Prof Rianto menjelaskan, uji klinik penelitian DSA tidak memiliki kelompok pembanding. Hal inilah yang menjadikan desain penelitian pada disertasi Terawan 'cacat besar'.

"Uji klinik yang benar akan mengatakan kita sulit sekali menerima kesahihan penelitian yang tanpa pembanding. Ini adalah desain penelitian yang cacat besar sebetulnya. Itu terjadi dalam penelitian ini," jelas Prof Rianto.

Selanjutnya, Terawan menggunakan tolak ukur keberhasilan menggunakan parameter pengganti yaitu pelebaran pembuluh darah. Seharusnya, kata Prof Rianto, satu uji klinik yang baik tolak ukurnya tidak boleh itu.

"Tapi perbaikan yang betul dirasakan manfaatnya oleh pasien, misalnya tadinya gak bisa ngurus diri sekarang bisa, tadinya gak bisa jalan sekarang bisa jalan. Itu tolak ukur yang benar," katanya.

Kemudian, penentuan sampel 75 orang dinilai MKEK tidak jelas. Terakhir, Terawan menggunakan prosedur diagnostik yang digunakan untuk prosedur terapiotik.

"Ini kalau saya analogikan, kalau ada seseorang yang batuk darah pergi ke dokter, dokternya mengatakan kamu rontgen dulu, setelah rontgen dokter bilang gak ada pengobatan lain. Pesan itulah yang jadi pengobatannya, jadi beralih fungsi yang sama sekali susah diterima nalar kita," beber Prof Rianto.

"Jadi kita akan bertanya mengapa para ilmuwan yang jadi pembimbing beliau pada melakukan desertasi diam saja. Saya dalam hal ini mengatakan hormat setinggi-tingginya pada Unhas, dan tim pembimbing mereka, karena sebetulnya tahu sejak semula weakness ini, cuma terpaksa mengiyakan karena konon ada tekanan eksternal yang tidak tau bentuknya apa," tandas Prof Rianto.

Artikel ini telah tayang dengan judul MKEK Bongkar Metode 'Cuci Otak' Terawan, Bilang Ada Cacat Besar

Selain informasi soal metode cuci otak Terawan cacat, simak berita Bali terkini untuk berita paling update di wilayah Bali.