DENPASAR - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengapresiasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena berani memberhentikan dokter militer pertama yang pernah menjabat sebagai Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto, sebagai anggota IDI.
Melalui akun Twitternya @Fahrihamzah, mantan legislator itu mempertanyakan kejelasan dokter Terawan.
BACA JUGA:
"Seorang dokter biasanya memakai jubah putih berkalung stetoskop, menciptakan suasana yg bersih dan tenang, tapi jika seorang dokter berbaju loreng dan berselempang mesiu dan senjata api itu akan menciptakan suatu yg dunia kedokteran kita harus bisa jelaskan. Itu tantangan IDI," tulis Fahri, dikutip VOI, Rabu, 6 April.
Terawan diketahui bergelar Letnan Jenderal TNI (Purn). Dia tercatat pernah menjabat Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto (RSPAD) Jakarta Pusat dan Ketua Tim Dokter Kepresidenan.
Saat dipecat dari keanggotaan IDI berdasarkan hasil Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI di Banda Aceh, Terawan mendapat banyak pembelaan dari anggota DPR, pejabat hingga politikus.
Fahri menilai jabatan Terawan terdahulu mengisyaratkan dekat dengan kekuasaan. Dia bilang keadaan itu memengaruhi independensi seseorang yang berprofesi sebagai dokter.
"Terawan adalah mantan seorang menteri dan pernah menjadi tim Dokter Presiden RI. Padanya melekat pengaruh kekuasaan yg sadar atau tidak pastk mempengaruhi independensi profesi kedokteran dan dunia akademik. Kita hormat kepada IDI yg berani membuka diri untuk sebuah perdebatan," kata Fahri Hamzah
Dokter Terawan diduga lakukan pelanggaran etik berat
Dokter Terawan Agus Putranto diberhentikan dari keanggotaan IDI berdasarkan keputusan MKEK saat Muktamar Ke-31 IDI pada 22-25 Maret. Dasar pemecatan Terawan ditetapkan dalam MKEK IDI yang digelar 8 Februari. Terawan dinilai melakukan pelanggaran etik berat.
Saat rapat bersama Komisi IX DPR dengan IDI, Senin, 4 April, anggota IDI sekaligus dokter spesialis farmakologi klinik, Prof. Rianto Setiabudi menjelaskan latar belakang yang mendasari pemecatan Terawan dari keanggotaan IDI.
Prof. Rianto mengungkapkan metode digital subtraction angiography (DSA) atau cuci otak untuk pengobatan pasien stroke yang dimodifikasi Terawan Agus Putranto punya masalah besar. Menurutnya, ada bagian-bagian tertentu dari disertasi 'Cuci Otak' Terawan yang mengandung kelemahan substansial.
Prof Rianto menuturkan, dosis kecil heparin yang digunakan dalam metode DSA Terawan tak berfungsi melarutkan bekuan darah pada otak pasien stroke. Melainkan hanya mencegah mampet bekuan darah pada ujung kateter yang berfungsi menunjukkan letak mampet.
"DSA itu suatu metode, metode radiologi memasukkan kateter dari suatu pembuluh darah di paha sampai ke otak. Di sana dilepaskan kontras. Kontras itu akan menunjukkan, di mana letak mampetnya itu. Nah, supaya ujung kateter itu tetap terbuka, diberikanlah sedikit dosis kecil heparin untuk mencegah bekuan darah di ujung kateter," ujar Prof Rianto.
"Ketika itu digunakan, maka timbul masalah yang besar sekali yaitu yang digunakan ini adalah orang-orang stroke yang stroke-nya sudah lebih dari satu bulan," ujarnya.
"Jadi bekuan darah itu sudah mengeras di situ dan tidak mungkin, kita cari di literatur mana pun, yang menunjukkan bahwa heparin efektif untuk merontokkan (atau) melarutkan bekuan darah," tutur Prof Rianto.