Farmasis UGM Tolak Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Medis
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Zullies Ikawati (Via ANTARA)

Bagikan:

DENPASAR - Farmasis dari Universitas Gajah Mada (GM), Zullies Ikawati tidak sepakat dengan legalisasi ganja meski untuk tujuan medis. Pasalnya, hasil olahan tanaman ganja tidak masuk ke dalam narkotika golongan I. 

"Kalau saya, mudah-mudahan banyak sepakat dengan saya, bahwa say no untuk legalisasi ganja walaupun memiliki tujuan medis," ujar apoteker Zullies dalam webinar 'Jalan Panjang Legalisasi Ganja Medis' dikutip VOI dari Antara, Rabu, 6 Juli 2022. 

"Tanaman ganja, semua tanam genus Cannabis, semua bagian tanamannya dan hasil olahannya termasuk dalam narkotika golongan I," imbuhnya.

Berdasarkan Undang-undang (UU) No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk menyebabkan ketergantungan.

Potensi penyalahgunaan ganja lebih besar jika dilegalisasi 

Zullies juga menyoroti akan ada potensi penyalahgunaan ganja yang besar jika tanaman tersebut dilegalisasi.

Dia mengacu pada narkotika lain seperti morfin yang saat ini dapat diresepkan sebagai obat. Namun, tanaman penghasilnya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan I yang tidak dapat dijadikan terapi pengobatan.

"Kita bisa mengacu pada narkotika lain seperti morfin. Morfin itu kan obat, bisa diresepkan untuk nyeri kanker yang berat. Tapi opiumnya, tanaman penghasilnya, tetap masuk golongan I karena potensi penyalahgunaannya besar," kata Guru Besar Fakultas Farmasi UGM tersebut. 

"Ganja juga seperti itu. Kalau ganja masuk golongan II misalnya dan dibolehkan, akan ada banyak penumpang gelapnya. Karena berapa persen sih, orang yang benar-benar membutuhkan ganja untuk medis? Nanti akan susah lagi untuk mengaturnya," sambungnya.

Sehingga, menurut Zullies, yang dapat dilegalkan adalah senyawa turunan ganja seperti cannabidiol, bukan tanamannya. Pasalnya, senyawa tersebut tidak bersifat psikoaktif dan bisa digunakan sebagai obat berdasarkan uji klinis yang telah banyak dilakukan.

"Maka, (cannabidiol) bisa masuk ke dalam golongan II bahkan III karena tidak berpotensi untuk disalahgunakan, mengingat sifatnya yang tidak psikoaktif," ujar Zullies.

Meski demikian, proses legalisasi senyawa turunan ganja tersebut, dikatakan Zullies harus mengikuti kaidah pengembangan obat dengan menggunakan data uji klinis terkait.

"Kita juga tidak bisa menggunakan regulasi seperti obat herbal. Meski ini seperti obat herbal, sama-sama dari tanaman, tapi tidak bisa begitu, karena (tanamannya) mengandung senyawa yang memabukkan," imbuh Zullies.

Selain itu, lanjut dia, perlu koordinasi dari semua pihak terkait yakni DPR, Kementerian Kesehatan, Badan Narkotika Nasional (BNN), hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membuat regulasi pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja.

"Kita memang harus terbuka bahwa kemungkinan ganja merupakan sumber dari suatu obat. Tapi, tentu harus dipertimbangkan semua risiko dan manfaatnya," pungkasnya.

Artikel ini telah tayang dengan judul Khawatir Banyak 'Penumpang Gelap', Guru Besar UGM Minta Ganja Tak Dilegalisasi Meski untuk Tujuan Medis

Selain informasi soal farmasis UGM tak sepakat legalisasi ganja meski untuk kepentingan medis, simak berita Bali terkini untuk berita paling update di wilayah Bali.