Guru Agama Cabul: Muara Rusaknya Citra Pesantren An-Nahla di Aceh pada 2018
Pondok Pesantren An-Nahla di Lhokseumawe, Aceh. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Citra pesantren sebagai wadah belajar ilmu agama Islam kerap dihantui dengan isu pencabulan. Di Aceh, misalnya. Warga Serambi Makkah dihebohkan dengan aksi pencabulan kepada 15 santri laki-laki yang dilakukan dua guru agama di Pesantren An-Nahla, Lhokseumawe.

Pelakunya Ali Imran yang menjabat sebagai salah satu pimpinan An-Nahla. Satunya lagi Miyardi yang menjabat sebagai guru ngaji. Aksi pencabulan itu kian memperburuk citra pesantren di seantero negari. Bak peribahasa karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Pesantren pernah jadi ajian utama rakyat Indonesia memperdalam ilmu agama Islam. Bahkan, kehadiran pesantren mampu bersaing dengan sekolah Eropa di era penjajahan Belanda. Kondisi itu kian masif berjalan karena pesantren jadi basis pergerakan mempertahan kemerdekaan Indonesia.

Eksistensi pesantren justru mulai meredup di era Orde Baru (Orba). Pesantren dianggap terlampau trasional – jika tak mau dikatakan mundur. Negara pun tak terlalu peduli nasib pesantren.

Segenap rakyat mulai melirik sekolah swasta dan negeri untuk pendidikan anak-anaknya, ketimbang pesantren. Narasi itu justru kian memperkuat pesantren. Mereka terus melanggengkan segala upaya untuk eksis. peminatnya pun tetap ada.

Miyardi (kiri) dan Ali Imran, dua pelaku pencabulan di Ponpes An-Nahla, Lhokseumawe, Aceh pada 2018. (Istimewa)

Pesantren-pesantren yang ada mulai mencocokkan diri dengan selera zaman. Ambil contoh, penerapan bahasa Inggris jadi salah satu bahasa sehari-hari di pesantren, selain bahasa Arab. Narasi itu dianggap ajian pesantren membuka diri dengan kemajuan.

Masalah baru pun muncul. Ulah segelintir pengasuh pesantren (guru agama) kerap jadi biang keladi citra pesantren tercoreng buruk. Alih-alih mengajarkan kebaikkan, segelintir guru agama justru memuluskan nafsu untuk melanggengkan pencabulan kepada santrinya.

Perlakukan itu dilanggengkan guru agama –Ali Imran dan Miyardi-- di Pesantren An-Nahla, Lhokseumawe, Aceh sedari 2018. Keduanya berstatus sebagai guru agama yang mencabuli hingga 15 santri laki-laki.

Perlakuan cabul itu baru ketahuan kala salah satu korban memberanikan diri melaporkan ke pihak polisi pada 8 Juli 2019. Polisi setempat langsung mengakses laporan. Pelaku langsung ditahan sehari setelahnya.

Keduanya dijerat Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP. Seisi Aceh, kemudian Indonesia gempar. Keduanya divonis bersalah dalam pengadilan. Ali mendapatkan hukuman penjara 190 bulan. Sedang Miyardi dapat hukuman 160 bulan.

“Terbukti bersalah dan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa Ali Imran dengan hukuman penjara selama 190 (15 tahun lebih) bulan dan Miyardi 160 bulan penjara (13 tahun lebih),” kata Hakim Ketua Azmir, saat membacakan amar putusan, didampingi hakim anggota Ahmad Luthfi, dan Kamaruddin Abdullah di PN Lhokseumawe, sebagaimana dikutip laman Kumparan, 30 Januari 2020.

Rusaknya Citra Pesantren

Bak nila setitik, rusak susu sebelanga. Itulah ungkapan yang dapat menggambarkan kasus pencabulan di Pesantren An-Nahla. Perilaku bejat guru agama membuat seluruh pesantren di Nusantara menanggung akibatnya.

Kasusnya pencabulan itu mengakibatkan orang tua santri was-was. Para orang tua jadi berpikir dua kali untuk menitipkan anak-anaknya ke pasantren. Narasi pesantren sebagai penunjuk Islam yang rahmatan lil alamin jadi tercoreng.

Semuanya itu dibuktikan langsung kala kasus pencabulan di An-Nahla mencuat. Pesantren yang notabene jadi tempat menuntut ilmu lebih dari 250 santri di Lhokseumawe mulai sepi. Mereka yang bertahan tak lebih dari 150 santri.

Para santri di Ponpes An-Nahla, Lhokseumawe, Aceh. (Facebook)

Kondisi itu karena orang tua murid mulai menarik anaknya dari pasantren. Sekalipun perombakan pengurusan sudah dilanggengkan. Pihak pesantren pun mencoba meminta masyarakat untuk tak lagi menghakimi dengan memberikan label buruk.

Mereka yang menjadi pelaku sudah ditindak dan bukan berarti yang rusak seisi pesantren. Namun, luka yang disebabkan ulah segelintir guru agama tetap mengakar dan mengganggu eksistensi perkembangan pesantren An-Nahla dan pesantren lainnya di masa yang akan datang.

“Sekarang ini proses belajar di gedung baru mulai berjalan. Sisanya 150 santri ini menyatakan ingin menamatkan pendidikan di pesantren,” kata pimpinan baru Pesantren An-Nahla di Lhokseumawe, Tengku Sulaiman Lhok Weng dikutip laman Kompas, 24 Juni 2019.