Istri Pejabat VOC Doyan Pamer Harta
Gaya hidup mewah dan doyan pesta para pejabat Belanda dan istrinya dari zaman VOC hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Perilaku pejabat maskapai dagang Belanda, VOC kerap bermasalah. Mereka melanggengkan segala cara –termasuk korupsi-- untuk hidup bergelimang harta. Semuanya untuk membalas masa lalu pejabat Kompeni yang hidup miskin di kampung halaman.

Perubahan hidup itu membuat pejabat Kompeni doyan pamer. Utamanya, istri pejabat. Segala macam harta kekayaan suaminya dipamerkan di muka umum. Dari acara pesta, ibadah di gereja, hingga upacara pemakaman. Mereka ingin hidup mewah bak Raja Jawa.

Kehadiran Kompeni di Nusantara penuh dinamika. Kehidupan pejabatnya, apalagi. Kehadiran mereka di bumi Nusantara kerap melanggengkan hal negatif. Sebab, tak semua pejabat Kompeni berasal dari keluarga kaya raya dan terpelajar.

Kebanyakkan pejabat Kompeni hadir dari kalangan kelas bawah. Miskin dan tidak berpendidikan. Asalkan mereka bukan Katolik, semua orang berhak jadi masuk VOC. Apa yang ditanam, itulah yang dituai. Urusan moral pejabat Kompeni jatuh pada level terendah. Alih-alih ingat Tuhan, mereka kerap berperilaku lupa diri.

Mereka melanggengkan hidup jauh dari nilai-nilai kebajikan. Fakta itu terlihat dari kehidupan pejabat Kompeni yang foya-foya dan bermewah-mewahan. Keinginan foya-foya itu muncul karena melihat gaya hidup sederet Raja Jawa.

Gaya hidup sosialita yang merebak pada masa penjajahan Belanda. (Wikimedia Commons)

Pun mereka ingin seluruh kehidupannya dilayani. Mereka memiliki banyak budak. Bahkan, budak yang dimiliki lebih dari 10 orang. Semua gaya hidup mewah itu ditunjang dari korupsi. Uang yang harusnya ke kas Kompeni, justru masuk ke kas pribadi.

Karenanya, orang-orang yang dulunya tak mau ditempatkan di Nusantara –yang dianggap jauh dan berbahaya—jadi tertarik. Bagi mereka, Nusantara yang kerap disebut negeri antah berantah mampu mendatangkan keuntungan bejibun.

“Personel VOC pada umumnya tidak mendapat kesempatan seperti yang telah dinikmati Speelman (dalam hal kekuasaan), tetapi sejauh mungkin mereka mencari peluang untuk menandingi gaya hidupnya. Hal ini sering kali berakhir dengan inefisiensi, kebejatan moral, korupsi, serta tindakan kekasaran dan kekejaman terhadap orang-orang bumiputra sehingga memperbesar perasaan benci mereka kepada VOC.”

“Sebagai contoh, komandan garnisun VOC di Kartasura pada tahun 1682 melaporkan bahwa serdadu-serdadu VOC memerkosa wanita-wanita Jawa di dalam rumah mereka, dan bahwa para serdadu, baik yang berkebangsaan bumiputra Kristen maupun Eropa, mengisap candu, dan minum luak beras ketan yang tidak sehat,” ungkap M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008).

Istri Pejabat VOC Pamer Harta

Kehidupan pejabat VOC yang doyan foya-foya menular kepada istri-istrinya. Gaya hidup bermewah-mewahan atas kekayaan suaminya jadi andalan untuk menjaga gengsi. Mereka tak mau dipandang rendah oleh pegawai Kompeni lainnya. Mereka selalu ingin unggul.

Para istri pejabat pun secara tak langsung meminta suaminya menghalalkan segala cara demi meraih dan mendapatkan alat atau barang yang menjadi simbol kekayaan. Dari kereta kuda, perhiasan, pakaian, hingga budak. Sederet simbol kekayaan itu kemudian mereka pamerkan di muka umum.

Mereka memamerkan tak kenal tempat. Di mana saja dan kapan saja. istimewanya pameran kekayaan itu kerap dilakukan saat melangsungkan ibadah rutin ke gereja. Kala itu, gereja bak arena fashion show para istri pejabat Belanda.

Pemandangan yang sama juga terlihat pada saat istri pejabat Kompeni melanggengkan pamer kekayaan di upacara kematian ataupun pesta. Mereka datang dengan kereta kuda. Pun sesampainya di lokasi, istri pejabat yang mengenakan perhiasan berharga ditemani dengan setia oleh budak-budak yang membawa segala macam keperluan istri pejabat. Dari payung hingga kotak sirih.

Perkumpulan kaum sosialita pada masa penjajahan Belanda di Nusantara. (Wikimedia Commons)

Dewan Gereja sempat terganggu dengan laku hidup pamer kekayaan. Namun, apa daya, urusan pamer harta kekayaan tak jarang pula dilakukan sekelas Gubernur Jenderal. Kalaupun ada aturan yang mengharuskan pejabat Kompeni tampil sederhana, tentu aturan itu hanya berlaku bagi mereka pejabat rendahan. Sedang pejabat tinggi tetap melanggengkan gaya hidup mewah bak Raja Jawa.  

“Pamer kekayaan di depan publik juga mewarnai pemerintah Batavia. Hal ini muncul bukan karena ketidaksukaan satu sama lain, bukan juga masalah dengan para pelancong, tetapi masalah kesamaan hak antara sesama anggota pemerintahan. Dengan model hirarki Jawa dan Jepang sebagai model mereka. Para pejabat Batavia mengemukakan pangkat dan keterangan prestasi mereka untuk menaiki tangga masyarakat VOC ataupun masyarakat umum yang bebas.”

“Gubernur Jenderal Rijklof van Goens (1678-1681) adalah salah seorang yang pertama kali membuat aturan tentang hak anggota pemerintahan pusat untuk memakai berlian, mutiara, emas, perak, dan permata serta perhiasan lainnya sebagai pelengkap dalam penampilan mereka. Ia juga melarang pegawai berpangkat rendah dan orang biasa untuk memiliki kereta kuda,” ungkap Sejarawan Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).