Respirator Bisa Bantu Kurangi Risiko Kena Pajanan Polusi Udara
Ilustrasi (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), FAPSR, FISR, menyarankan penggunaan respirator yang menutupi mulut dan hidung untuk mengurangi risiko Anda terkena pajanan polusi udara.

“Yang terbaik respirator, dapat dipakai di wajah menutupi mulut dan hidung untuk mengurangi risiko pajanan. Prosedurnya dipakai secara benar,” ujar dia dalam diskusi media secara daring bertajuk “Tingkatkan Perlindungan Diri Anda dengan Penggunaan Alat Pelindung Pernapasan”, Jumat, dilansir Antara.

Di antara dua jenis respirator, yang bersifat sebagai pemurni udara merupakan tipe sederhana. Respirator ini salah satunya N95 yang memiliki kemampuan filtrasi dari komponen utama dari polusi udara khususnya particulate matter (PM) 2,5 sama dengan atau lebih dari 95 persen.

Kemampuan ini lebih baik ketimbang masker kain atau bedah tidak bisa menyaring udara secara optimal. Studi di Korea memperlihatkan, respirator bila digunakan secara benar memiliki kualifikasi lebih baik dari pada masker bedah atau sapu tangan.

Agus tidak menyarankan penggunaan respirator pada anak karena kelompok usia ini cenderung belum memiliki kemampuan fisiologi paru seperti orang dewasa. Di sisi lain, respirator cenderung tidak nyaman dan saat ini belum tersedia khusus untuk anak.

Anak-anak termasuk berusia di bawah 10 tahun hingga saat ini, seperti saran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diutamakan mengenakan masker yang sederhana dan pas pada wajah mereka.

“Terutama anak di bawah 10 tahun tidak disarankan memakai masker N95 atau respirator. Belum ada respirator untuk anak karena faktor tidak nyaman, kemampuan fisiologi paru belum seperti orang dewasa. Lebih baik pake masker biasa,” tutur Agus yang berpraktik di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan dan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI itu.

Para pakar kesehatan pada peringatan Hari Paru Sedunia 2021 telah mengingatkan bahaya polusi udara yang bisa berdampak akut dan panjang pada kesehatan paru dan pernapasan.

Efek akut meliputi iritasi mukosa yang ditandai mata merah, hidung berair dan bersin serta iritasi saluran napas atas dan bawah dengan tanda peradangan, sakit tenggorokan, batuk dan munculnya dahak.

Polusi udara juga berhubungan dengan peningkatan infeksi saluran napas akut (ISPA), serangan asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan kunjungan ke rumah sakit karena masalah respirasi. Pada jangka panjang, kondisi yang bisa terjadi mencakup penurunan fungsi paru, reaksi, alergi, kanker paru hingga kematian.

Data WHO menunjukkan, sekitar 7 juta orang meninggal prematur setiap tahun karena polusi udara. Dari angka ini, sebanyak 21 persen terkena pnumonia, 20 persen stroke, 34 persen penyakit jantung koroner (PJK) dan 7 persen dengan kanker paru.

“Sekitar 47 persen polusi udara berkaitan dengan mortalitas pada paru,” demikian tutur Agus.