Sering Ragu-Ragu Sama Kemampuan Diri, Menurut Penelitian Didorong Faktor Berikut Ini
Ilustrasi faktor yang mendorong ragu-ragu sama kemampuan diri (freepik)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Kerap meragukan kemampuan diri, dikaitkan dengan impostor syndrome. Meski bukan satu-satunya gejala, tetapi keraguan diri bisa menghambat langkah berbagai aspek, mulai dari karir hingga relasi.

Impostor syndrome (IS) atau sindrom penipu, menurut penelitian dikutip pengajar psikologi dan penulis Edward Hoffman, Ph.D., mereka yang mengalaminya melaporkan perasaan ragu-ragu yang terus menerus, takut membuat kesalahan, dan sulit menerima pujian atas pencapaian mereka. Penelitian juga menunjukkan lebih banyak pria yang juga mengalami IS, namun konsensus ilmiah menunjukkan IS lazim di kalangan wanita, ras, etnis, dan agama minoritas.

Dalam pencarian Hoffman menemukan 15.000 entri publikasi sejak 2019 yang menginvestigasi kondisi IS. Termasuk di Bangladesh, Brasil, China, Rumania, dan Turki.

Biasanya, seseorang yang mengalami IS mengaitkan pencapaian bukan dengan kemampuan pribadi, tetapi dengan keberuntungan atau kondisi eksternal lainnya. Pada penelitian gelombang pertama, keraguan akan kemampuan diri dikaitkan dengan kepribadian defisit, seperti kelelahan kerja, kecemasan tinggi, perfeksionisme, dan harga diri rendah. Aspek-aspek ini sering ditelusuri ke pola asuh yang otoriter dan terutama overprotektif.

faktor yang mendorong ragu-ragu sama kemampuan diri
Ilustrasi faktor yang mendorong ragu-ragu sama kemampuan diri (freepik/pikusuperstar)

Penelitian pada gelombang kedua, yang lebih baru, fokus pada faktor sosial yang lebih luas memengaruhi IS. Diantaranya agresi mikro, bias sistemik, dan rasisme yang salah satunya dipublikasikan dalam Harvard Business Review, menunjukkan bahwa tempat kerja yang salah arah dan tidak proporsional disebabkan sistem diskriminatif dan penyalahgunaan kekuasaan.

Faktor ketiga, menurut Hoffman merujuk dari Abraham Maslow, yang mana menekankan pada kurangnya pendampingan yang memadai. Alasannya, karena IS seringkali melihatkan perasaan tidak autentik ditambah dengan kesepian eksistensial. Ini mengungkapkan, adanya diri yang kosong dan penghargaan positif tanpa syarat tidak muncul.

Melalui rujukan tersebut, dari Maslow, Hoffman dilansir Psychology Today, Senin, 31 Juli, penting mengembangkan bimbingan berpusat pada pertumbuhan yang berfungsi sebagai panutan berkualitas, seperti keaslian, integritas, refleksi diri, dan kemauan meninggalkan sikap defensive dan kepura-puraan. Karena impostor syndrome mencakup perasaan tidak mampu, mungkin seseorang perlu mencatat bahwa dirinya berharga. Apabila Anda seorang perfeksionis, mungkin rentan pada IS karena mengejar kesempurnaan yang tak mungkin. Oleh karena itu, Anda harus menurunkan standar agar merasa kompeten serta terpuji.