Pentingnya Membangun Karakter Anak ketika Belajar Tentang Kedisiplinan
Ilustrasi membangun karakter anak, membentuk karakter disiplin pada anak (Freepik/Drazen Zigic)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Memberi hukuman pada anak yang berperilaku buruk, tidak akan membuat mereka lebih bisa mengelola perilakunya. Pada masanya belajar kedisiplinan dan pembentukan karakter, anak membutuhkan arahan agar berkembang.

Semua anak-anak tidak suka dihukum. Mereka cenderung tidak bisa menyesali apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu, memberikan hukuman karena mereka tidak disiplin, bukan solusi yang tepat. Melansir paparan Thomas Lickona, psikolog yang fokus pada perkembangan anak dan penulis How to Raise Kind Kids, orang tua perlu fokus dalam membangun karakter agar anak-anak lebih disiplin.

Mengapa penting untuk membangun dan mengenali karakter anak agar mereka lebih disiplin? Dilansir Psychology Today, Kamis, 29 September, karakter penting untuk mengelola perilaku buruk dalam situasi yang dihadapi. Dengan membangun karakter, orang tua juga mempromosikan kualitas diri, berkaitan dengan kebaikan, rasa hormat, tanggung jawab, dan pengendalian diri. Menurut Lickona, delapan cara di bawah ini dapat Anda terapkan dalam membangun kedisiplinan anak.

Pastikan kedekatan secara emosional terbangun

Banyak penelitian membuktikan bahwa hubungan orang tua dan anak yang penuh cinta, perhatian, dan responsif berkaitan dengan kesehatan, kebahagiaan, serta perkembangan karakter anak.

Itu berarti ketika anak-anak merasa dicintai dan terikat secara emosional dengan orang tuanya, maka mereka bisa menerima nilai-nilai yang diteladani oleh orang tuanya.

membangun karakter anak, membantuk karakter disiplin pada anak
Ilustrasi membangun karakter anak, membentuk karakter disiplin pada anak (Freepik/graystudiopro1)

Ekspektasi perlu dukungan kuat

Orang tua kerap berekspektasi anak-anaknya memiliki perilaku yang baik. Tetapi usaha yang dilakukan perlu sebanding dengan tingginya ekspektasi. Menerapkan standar yang tinggi untuk perilaku pantas anak-anak perlu latihan, mengingatkan, dan membangun kebiasaan.

Memberikan informasi dengan kelembutan

Banyak kasus ketidakdisiplinan anak bisa teratasi dengan kelembutan. Artinya, tak perlu memberi anak-anak hukuman. Cukup ingatkan dengan lembut tetapi tegas, misalnya ‘Bisakah kamu mengatakan itu dengan lebih hormat’.

Luangkan waktu untuk membuat anak menyadari kesalahannya

Dalam tinjauan penelitian di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada, meluangkan waktu membuat anak-anak sadar tentang bagaimana tindakan mereka memengaruhi orang lain. Ini merupakan predictor kuat dari hasil karakter, seperti empati, hati nurani, dan penalaran moral.

Ini disebut ‘percakapan karakter’ yang tidak membutuhkan waktu lama tetapi harus dilakukan. Misalnya, Sarah berusia 2 tahun, ia menarik rambut gadis seumurannya hingga menangis. Ibu Sarah, duduk berlutut di depan Sarah dan menatap matanya. Ia berkata dengan kalimat yang jelas, ucapnya ‘Kamu menyakiti Amy! Menarik rambut itu menyakitkan. Jangan pernah menarik rambut’.  Dengan memberikan informasi yang jelas tentang apa yang tidak boleh dilakukan, orang tua telah mencoba mendisiplinkan anak tanpa memberi hukuman.

Beri waktu anak untuk berpikir

Anak-anak perlu memproses informasi yang mereka terima. Agar dapat diterima dengan baik, biasakan untuk memberi waktu anak ‘di kursi berpikir’. Biarkan ia duduk di satu tempat, dan minta ia untuk berpikir mengapa yang ia lakukan itu tidak baik. Ketika mereka siap, ajak mereka berdiskusi tentang apa yang telah ia lakukan dan menyakiti orang lain.

Menerapkan restitusi

Restitusi adalah pelajaran mengenai penebusan kesalahan dengan melakukan secara benar. Ketika anak-anak melakukan kesalahan, mereka harus tahu bagaimana berperilaku secara benar. Restitusi ini perlu dilakukan agar mereka menunjukkan rasa menyesal dengan melakukan sesuatu yang positif. Tujuannya untuk menyembuhkan luka dan memulihkan kedamaian.

Selain cara di atas, Lickona juga merekomendasikan agar anak menetapkan sendiri konsekuensi yang adil untuk perilakunya yang buruk. Ini merupakan latihan yang boleh dilakukan, asalkan tidak dengan kekerasan fisik atau verbal.

Cara-cara di atas, menurut Lickona membuat percakapan dengan anak lebih kolaboratif dan berfokus pada karakter. Dengan cara di atas pula, orang tua dapat mengenalkan pada anak tentang konsekuensi yang adil.