Faisal Basri Kritik Program Work From Bali yang Dicanangkan Luhut dan Sandiaga Uno: Kasihan Orang Sana, Kita Bawa Virusnya
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. (Foto: Dok. Kemenko Marves)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tengah menjalankan Program Work from Bali atau Kerja dari Bali atau (WFB). Tujuannya untuk kembali menggerakan perekonomian Bali. Namun, program ini mendapat kritik dari Ekonom Senior Faisal Basri. Ia menentang program tersebut.

Faisal mengatakan program bekerja dari Bali atau work from Bali yang dicanangkan pemerintah akan meningkatkan mobilitas masyarakat di tengah pandemi COVID-19, yang saat ini bahkan belum teratasi.

"Tolong juga jangan bekerja from Bali, Lombok, Danau Toba, nah konsepnya ini mobilitas kan. Jadi bekerja dari rumah. Kasihan orang Bali, orang pusat wisata karena di bawa virusnya oleh manusia," tuturnya dalam diskusi virtual, Minggu, 20 Juni.

Rencana WFB dicetuskan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sejak Mei lalu. Tujuh lembaga di bawah kementerian yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan itu akan mengirimkan pegawai negeri sipil alias PNS-nya untuk bekerja dari Bali dengan dalih membantu perekonomian Pulau Dewata yang ambruk karena pandemi.

Sebelumnya Kemenparekraf sudah lebih dulu menginisiasi WFB di awal tahun 2021. Saat ini kementerian di bawah pimpinan Sandiaga Uno terus berupaya mengajak berbagai sektor untuk menerapkan hal yang sama.

Faisal mengatakan alih-alih mengajak masyarakat bekerja dari destinasi wisata, pemerintah harus mengambil langkah untuk menangani pandemi COVID-19 dengan pembatasan skala besar.

Lebih lanjut, Faisal berujar pembatasan skala besar bisa dilakukan selama dua pekan agar gelombang penyebaran wabah yang meningkat akibat munculnya varian baru virus penyebab COVID-19 dapat ditekan.

"Jadi ayo kita pahit-pahit 2 minggu, pemerintah cari uangnya sesuai dengan UU. Ini sesuai UU. UU dibuat oleh para ahlinya karena ada naskah akademis, dan sebagainya ini yang kita langgar dengan membuat, menciptakan berbagai istilah baru yang rakyat juga makin tidak tahu dan peduli. Sekarang PSBB mikro, RT, RW segala macam," tuturnya.

Jangan tunda pengetatan, ongkosnya akan lebih mahal

Faisal mengingatkan pemerintah untuk tidak lagi menunda pengetatan. Sebab, ongkos yang akan dikeluarkan pemerintah untuk pemulihan akan jauh lebih mahal. Menurut Faisal, Indonesia juga belum terlambat untuk menyelesaikan masala pandemi.

"Jadi ayo kita call sekarang atau kita akan mengalami ongkos yang lebih mahal lagi mengingat kapasitas sistem kesehatan kita sangat terbatas. Karena itu kita call kepada presiden ayo Pak belum terlambat," ucapnya.

Menurut Faisal, jika lockdown dilakukan oleh pemerintah sejak awal maka biaya yang dikeluarkan tidak akan besar. Bahkan, kata dia, lebih kecil dari anggaran PEN yang kini dikeluarkan pemerintah.

"Kita bayangkan lockdown dilakukan di awal, Jakarta kita kunci 3 minggu itu anggarannya tidak sampai Rp100 triliun. Kalau sekarang PEN itu sudah sampai Rp600 triliun ya. Kalau sekarang lockdown nasional hitung-hitungannya lebih rumit tentu saja, karena Indonesia itu sangat luas," tuturnya.

"Jadi sekali lagi dari segi ongkos akan mencapai ratusan triliun sudah pasti itu, itu lah ongkos penundaan. Dan ongkos penundaan itu akan semakin mahal lagi kalau pada akhirnya kita mengalami kolaps dan lockdown. Nah kalau kolaps kita melakukan lockdown itu ongkosnya akan jauh lebih mahal itu yang sudah pasti," lanjutnya.

Di samping itu, Faisal meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengganti panglima perang COVID-19 yang sesungguhnya. Sebab, saat ini Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang ditunjuk menjadi komite penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (KPC-PEN) dianggap berorientasi pada pemulihan ekonomi.

"Supaya kita tidak kecewa tunjuklah panglima perang yang sesungguhnya. Yang mampu menunjukan tindakan-tindakan sesuai dengan data dan berbasis ilmu pengetahuan," katanya.