Pajak Sembako, Pengamat: Pemerintah Reaktif, padahal Harusnya Tahu Ini Isu Sensitif
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menarik pajak pertambahan nilai atau PPN atas bahan pokok atau sembako mendapat sorotan dari banyak pihak. Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan bahwa pengenaan pajak pada sembako akan menurunkan konsumsi masyarakat. Hal ini akan berdampak buruk pada ekonomi nasional.

Seperti diketahui, PPN untuk sembako tertuang dalam rencana perluasan objek PPN yang diatur di Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Sembako dipajaki saja sudah pasti berdampak pada masyarakat, ini rencananya sifatnya 1 persen. Walaupun 1 persen tetap akan berdampak, pertama daya beli, kedua secara psikologis. Ada rentetan seperti meningkatnya inflasi, berdampak pada daya beli menurun, ujungnya konsumsi menurun, berdampak pada investasi," tuturnya dalam diskusi virtual, Jumat, 11 Juni.

Lebih lanjut, Piter mengatakan pemerintah harus menyiapkan argumentasi yang matang mengenai rencana pengenaan pajak untuk sembako. Sebab, isu ini sangat sensitif untuk masyarakat di tengah pandemi COVID-19 ini.

"Komunikasinya kedodoran sekali, pemerintah reaktif, seharusnya sudah menyadari sejak awal isu ini sensitif, PPN sembako, pendidikan dan kalau memang seharusnya dilakukan disiapkan secara matang argumentasinya. Padahal sembako itu jenisnya banyak, misal premium kayak daging wagyu," katanya.

Tak hanya itu, kata Piter, pedagang juga akan merasakan dampak dari pengenaan pajak pada sembako. Salah satu yang paling dirasakan pedagang terjadi lantaran lesunya daya beli.

Secara berurutan, kata Piter, penarikan pajak ini akan berimbas pada kenaikan harga pangan, kemudian memicu melemahnya daya beli, dan berujung pada turunnya konsumsi.

"Ketika itu terjadi di tengah pandemi, pengalihan harga ke konsumen berujung pada turunnya daya beli, turunnya konsumsi, itu yang kemudian berbalik ke pedagang imbasnya," jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dari sisi etika politik, dirinya belum bisa menjelaskan secara rinci kepada publik mengenai PPN untuk sembako. Sebab, beleid tersebut belum dibahas dengan DPR dalam hal ini Komisi XI yang membidangi perpajakan.

Lebih lanjut, Sri mengaku heran draf rancangan undang-undang ini bocor ke publik.

"Karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan ke DPR melalui Surat Presiden dan oleh karena itu situasinya menjadi agak kikuk karena kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan ke DPR juga," ujarnya dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Kamis, 10 Juni.

Sri Mulyani mengatakan situasi ini membuat pemerintah tidak bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur perpajakan yang direncanakan. Namun, ia menyayangkan karena bocornya draf RUU KUP, informasi rencana kebijakan pemerintah hanya dipahami sepotong-sepotong dan tidak menyeluruh.

"Kami tidak dalam posisi untuk bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur dari perpajakan kita, yang keluar sepotong-sepotong yang kemudian di-blow up dan seolah-olah menjadi sesuatu yang tidak bahkan mempertimbangkan situasi hari ini," ucapnya.

PPN sembako belum berlaku

Sri Mulyani memastikan saat ini PPN untuk sembako belum berlaku. Ia pun meminta maaf kepada para anggota dewan yang telah diberondong pertanyaan oleh konstituennya akibat meruaknya rencana itu.

"Saya juga minta maaf pasti semua Komisi XI ditanya kenapa ada policy, seolah-olah sekarang PPN sudah naik, padahal enggak ada," ucapnya.

Menurut Sri, kalaupun RUU KUP terealisasi, belum tentu semua yang diusulkan pemerintah disetujui dan dijalankan dalam waktu dekat. Nantinya semuanya akan dibicarakan terlebih dahulu oleh DPR RI.

"Itu semua kita akan presentasikan secara lengkap, by sektor, by pelaku ekonomi kenapa kita mengusulkan pasal ini, landasannya apa dan kalaupun itu adalah arah yang benar apakah harus sekarang, apakah harus 6 bulan, apakah harus tahun depan, itu semuanya nanti kita ingin membahas secara penuh dengan Komisi XI," tuturnya.