Bagikan:

JAKARTA– Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyatakan bahwa Indonesia perlu mengevaluasi kebijakan perdagangannya terhadap Amerika Serikat (AS) guna menjaga hubungan dagang yang harmonis dan saling menguntungkan.

"Untuk menjaga hubungan dagang yang harmonis dan saling menguntungkan, Indonesia perlu mengevaluasi kebijakan perdagangan yang dianggap proteksionis, memperkuat transparansi dalam perizinan impor, serta berusaha mematuhi standar internasional terkait regulasi teknis dan kebijakan perdagangan secara umum," kata Josua dikutip VOI dari ANTARA di Jakarta, Kamis, 3 April.

Presiden AS, Donald Trump, telah memasukkan Indonesia dalam daftar 58 negara yang dianggap menerapkan kebijakan penghambat perdagangan terhadap AS. Beberapa kebijakan dan regulasi di Indonesia dinilai berpotensi menghambat perdagangan AS, mencakup berbagai aspek mulai dari tarif, nontarif, hingga kebijakan investasi.

Dalam aspek tarif, AS menyoroti kebijakan tarif Indonesia yang cenderung meningkat dalam satu dekade terakhir, terutama pada produk yang bersaing dengan barang lokal seperti elektronik, produk kimia, kosmetik, obat-obatan, serta produk pertanian. Tarif tersebut dianggap proteksionis karena melebihi batas yang disepakati di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Misalnya, tarif untuk barang pertanian dipatok di atas 25 persen, sementara beberapa produk industri seperti otomotif, besi, baja, dan produk kimia tertentu dikenai tarif di atas 35,5 persen.

Selain tarif, kebijakan nontarif juga menjadi sorotan, terutama sistem perizinan impor yang dinilai kompleks dan tumpang tindih. AS mengkritik sistem commodity balance yang diterapkan Indonesia karena menimbulkan ketidakpastian, terutama saat pemerintah tiba-tiba menambahkan komoditas baru dalam daftar pembatasan impor tanpa konsultasi dengan pelaku usaha. Produk seperti gula, beras, daging, bawang putih, serta buah-buahan seperti apel dan jeruk menjadi terdampak akibat pembatasan ini.

Kebijakan lain yang menjadi perhatian adalah penerapan aturan halal yang mewajibkan sertifikasi untuk berbagai produk, mulai dari makanan hingga farmasi dan kosmetik. AS menilai implementasi regulasi tersebut dilakukan tanpa notifikasi dan konsultasi yang memadai di WTO, sehingga menimbulkan hambatan teknis tambahan bagi eksportir AS.

Selain itu, aturan kepemilikan saham dalam sektor jasa keuangan juga dipandang sebagai hambatan, terutama terkait pembatasan kepemilikan asing pada perusahaan pemrosesan pembayaran domestik dan lembaga pelaporan kredit swasta yang dikelola oleh Bank Indonesia.

Menurut Josua, berbagai hambatan tersebut, jika terus berlanjut, dapat berdampak negatif terhadap hubungan perdagangan Indonesia-AS. AS kemungkinan akan membalas dengan hambatan perdagangan terhadap produk ekspor Indonesia seperti tekstil, hasil pertanian, dan elektronik, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekspor Indonesia ke AS.

Dampak jangka panjang terhadap ekonomi Indonesia juga serius. Jika hambatan perdagangan tidak dikurangi, kepercayaan investor AS terhadap pasar Indonesia bisa tergerus. Investasi asing dari AS dalam sektor manufaktur, jasa, dan teknologi dapat menurun, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi domestik dan penciptaan lapangan kerja baru.

Sebagai solusi, Josua menyarankan pendekatan dialog intensif melalui kerangka Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) yang sudah ada antara Indonesia dan AS untuk mengatasi tantangan perdagangan ini secara konstruktif.