Sri Mulyani Diminta Tak Terlalu Pede Hadapi Ancaman Resesi: 1996 Ekonomi Tumbuh Tinggi, 1997 Kena Krisis
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad mengutarakan kepeduliannya terhadap kondisi perekonomian nasional yang kini tengah menghadapi tantangan baru setelah melewati pandemi COVID-19 dalam dua tahun belakangan.

Menurut dia, Indonesia berada dalam situasi yang cukup rentan untuk terkena resesi ekonomi. Untuk itu, Kamrussamad meminta kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk menjaga betul stabilitas perekonomian nasional di tengah ancaman perlambatan pertumbuhan.

“Kami mengingatkan untuk tidak meremehkan ancaman resesi ekonomi saat ini. Meski struktur dan fundamental ekonomi Indonesia dikatakan jauh lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Sri Lanka, namun bukan berarti bebas ancaman tersebut,” ujarnya dalam keterangan pers dikutip redaksi pada Sabtu, 16 Juli.

Kamrussamad menambahkan, krisis Sri Lanka dipicu salah satunya oleh krisis utang yang mencapai mencapai 117 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sementara, RI diketahui memiliki debt to GDP ratio sebesar 38 persen.

“Walau lebih baik, ada kondisi dimana nilai tukar rupiah kita melemah dan ini bisa membuat rasio tersebut meningkat. Apalagi IMF memprediksi ekonomi global bakal makin suram” tuturnya.

Hal lain yang diungkapkan oleh legislator Gerindra itu adalah soal survei Bloomberg yang memasukan Indonesia dalam daftar 15 negara paling berpotensi terkena resesi. Adapun, negara-negara tersebut adalah Sri Lanka, New Zealand, Korea Selatan, Jepang, China, Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, Indonesia, serta India.

“Indikator ekonomi Indonesia saat ini memang lebih baik. Tapi trajectory-nya mirip dengan lintasan negara-negara yang mengalami resesi,” tegas dia.

Kamrussamad pun menyebut pertumbuhan ekonomi yang positif tidak menjadi jaminan RI terbebas dari ancaman. Pasalnya, di periode 1996 pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat tinggi dengan berada di level 8 persen, hingga kemudian tertimpa krisis hebat pada 1997.

"Saat ini, cadangan devisa kita sudah berkurang sekitar 12 miliar dolar AS sejak September 2021, dan terus berkurang dalam 4 bulan terakhir ini. Apalagi ditambah tren capital outflow akibat kenaikan suku bunga The Fed,” katanya.

"Belum lagi trend harga komoditas mulai menurun sekarang. Ini berpotensi mempercepat krisis valuta," tutup Kamrussamad.