Wisata Halal Harusnya Berkah Bukan Musibah, Bahkan Jika yang Tertimpa adalah Satu Ekor Anjing
Ilustrasi foto (Sumber: Kemenparekraf.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Canon, seekor anjing di Kabupaten Aceh Singkil mati usai ditangkap Satpol PP. Benarkah wisata halal jadi dalih penangkapan Canon? Apa sebenarnya konsep wisata halal? Bukankah wisata halal lebih cenderung pada pendekatan gimik bisnis ketimbang penegakan syariat? Pun jika ia penegakan syariat, tetap tak seharusnya ada anjing yang mati, toh? Wisata halal harusnya berkah. Bukan musibah, bahkan jika yang tertimpa adalah satu ekor anjing.

Canon adalah anjing jantan peliharaan di salah satu resor di lokasi objek wisata Pulau Panjang, Desa Pulau Baguk, Kecamatan Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Selasa, 19 Oktober, Canon menghadapi kepungan anggota Satpol PP.

Salah satu dari pamong praja itu mengarahkan kayu bercabang untuk menangani Canon. Canon kemudian dimasukkan ke keranjang dan dibawa pergi. Singkat cerita Canon mati dalam proses pemindahan itu.

Pemindahan Canon konon dilakukan karena pemberlakuan wisata halal di kawasan Pulau Banyak. Kepala Satpol PP Aceh Singkil dan Wilayatuh Hisbah Aceh Singkil Ahmad Yani membantah dalih wisata halal sebagai alasan pemindahan Canon. Katanya itu dilakukan atas permintaan Muspika Kecamatan karena sudah dua orang jadi korban gigitan Canon.

“Kami menangkap anjing itu bukan karena ikon wisata halal, itu kami lakukan atas permintaan Muspika karena keberadaan anjing (Canon) di pulau itu membuat kenyamanan pengunjung terganggu,” kata Ahmad Yani, dikutip AcehKini.

Canon (Instagram/@rosayeoh)

Di luar konteks Canon, yang jelas sejak 2019 pemerintah Aceh Singkil memang melarang keberadaan anjing di lokasi-lokasi wisata halal. Melihat konteks hukumnya, larangan anjing didasari aturan yang diterbitkan 5 November 2019.

Aturan itu terbit lewat surat bernomor 5564/10 yang ditujukan kepada pengelola wisata dan restoran. Surat itu memuat empat larangan:

  1. Dilarang memelihara anjing dan babi di lokasi tempat wisata,
  2. Dilarang menjual dan melayani minuman keras,
  3. Tidak mempekerjakan pekerja seks komersial, prostitusi atau membiarkan hal-hal yang bersifat mesum yang dapat melanggar etika ketimuran,
  4. Tidak menerapkan hal-hal yang bertentangan dengan kearifan lokal.

Surat 5564/10 juga menyebut dasar aturan itu mengacu pada Surat Gubernur Aceh Nomor 556/2266 tertanggal 12 Februari 2019 tentang pelaksanaan wisata halal di Aceh. Camat Pulau Banyak Mukhlis, yang turut menandatangani surat itu menyatakan telah memberi peringatan pada pengelola wisata, termasuk pemilik Canon tentang penegakan aturan pemeliharaan anjing.

"Sudah kita surati sejak 2019. Sudah diingatkan juga oleh kepala desa agar tidak memelihara anjing. Tapi tidak diindahkan oleh pemilik resor yang memelihara hewan di lokasi wisata tersebut," kata Mukhlis, dikutip Antara.

Wisata halal sebagai gimik bisnis

Ilustrasi foto (Sumber: Kemenparekraf.go.id)

Apa sih sebenarnya wisata halal? Ini penting dibahas karena banyak pandangan keliru menganggap wisata halal sebagai Islamisasi dunia pariwisata. Keresahan yang sempat diungkap Wakil Presiden Ma'ruf Amin ketika banyak daerah menyatakan keberatan terhadap wisata halal.

"Tentu kami ingin menghilangkan persepsi yang salah tentang wisata halal atau wisata syariat. Sepertinya ada kesan bahwa wisata syariat itu wisatanya akan disyariatkan. Kemudian, daerah-daerah keberatan," kata Maruf dalam keterangan resmi, Mei lalu.

Dikutip dari Panduan Penyelenggaraan Pariwisata Halal Kemenparekraf/Baparekraf wisata halal merujuk pada layanan tambahan amenitas, atraksi, dan aksesibilitas yang ditujukan dan diberikan untuk memenuhi pengalaman, kebutuhan, dan keinginan wisatawan muslim. Dengan kata lain wisata halal adalah gimik bisnis untuk menyasar klaster pasar spesifik penduduk Muslim.

Konsep wisata halal bukan berarti mengubah objek wisata, melainkan berfokus pada layanan, misalnya memastikan adanya panduan arah kiblat, tempat salat hingga penyediaan makanan dan minuman halal. Wisata halal juga terkait komitmen pengelola wisata dalam level kesehatan tertentu, baik dalam hal makanan juga lingkungan.

Jika melihat akar kemunculannya, wisata halal diadopsi dari negara-negara non-OKI (Organisasi Kerja Sama Islam). Negara-negara terdepan, seperti Jepang, Australia, Korea, Selandia Baru, Inggris hingga Prancis melihat potensi besar dari pertumbuhan Muslim secara global.

Restoran halal di wilayah pariwisata halal di China (Sumber: Wikimedia Commons)

Wisata halal kemudian diciptakan sebagai wadah yang mengakomodasi kebutuhan --terutama soal ibadah dan hal-hal menyangkut keyakinan ajaran-- wisatawan Muslim. Wisata halal juga tak berarti membatasi wisatawan non-Muslim melakukan kebiasaan mereka saat berwisata.

Dikutip dari Republika, Ketua Umum Perkumpulan Pariwisata Halal (PPHI) Riyanto Sofyan mengamini pernyataan Maruf. Katanya tak tepat mengaitkan wisata halal dengan Islamisasi atau Arabisasi. Selain cenderung rasis, pada dasarnya anggapan itu memang tak tepat. Wisata halal adalah brand internasional yang menyasar kebutuhan global. Ujungnya demi devisa negara.

Seperti dijelaskan di atas, wisata halal justru nyaring dipromosikan negara mayoritas non-Muslim untuk mendatangkan wisatawan Muslim dari seluruh dunia ke negara mereka. Sederhananya seperti branding wisata vegetarian bagi wisatawan asal India.

"Jadi ini semacam extended services and facilities for Muslim travelers," kata Riyanto.

Potensi ekonomi wisata halal

Bukan tanpa alasan wisata halal berkembang, baik secara minat dan implementasi. Wisata halal adalah pasar yang menjanjikan. Laporan Mastercard Crescentrating Global Travel Market Index (GTMI) 2019 memprediksi jumlah wisatawan Muslim secara global di angka 230 juta.

Angka itu merupakan peningkatan dari 2018, di mana hanya ada 140 juta wisatawan Muslim. Selaras. Global Islamic Economy Report memprediksi perputaran uang dari wisata halal dunia akan meningkat, dari 177 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 274 miliar dolar di tahun 2023. 

Indonesia berpotensi besar menjadi salah satu pemain utama wisata halal. Sejumlah penghargaan dalam ranah destinasi wisata halal dunia telah dicatatkan. Pada 2019, misalnya. Global Muslim Travel Index (GMTI) mendaulat Indonesia sebagai destinasi wisata halal terbaik di dunia. Indonesia unggul di atas 130 negara peserta lain.

Penobatan didasari pada catatan GMTI bahwa 20 persen atau sekitar 14,92 juta turis asing yang datang ke Indonesia merupakan wisatawan Muslim. Indikator lainnya adalah aspek lingkungan, pelayanan, komunikasi, serta akses di destinasi wisata halal yang tersebar se-Tanah Air.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (Sumber: Kemenparekraf.go.id)

Selain penobatan GMTI, prestasi lain adalah kemenangan Indonesia atas 12 dari 16 penghargaan World Halal Tourism Award 2016 di Abu Dhabi. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menyatakan prestasi-prestasi itu membuatnya sangat optimis pada keberhasilan wisata halal Indonesia.

Belum lagi modal demografi, di mana mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Penduduk muslim Indonesia diharapkan jadi penggerak pariwisata halal yang terampil dalam mengembangkan destinasi.

“Selain memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki destinasi wisata yang beraneka ragam untuk pengembangan potensi wisata halal,” kata Sandiaga dalam Launching of Spiritual International Halal Science Conference 2021: Enhancing and Strengthening Halal Industry through Science, Selasa, 13 Juli lalu.

*Baca Informasi lain soal PARIWISATA atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya