Kekerasan Seksual: Ketika Guru Jadi Sumber Malapetaka bagi Anak
Ilustrasi - FSGI mencatat 15 kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban mencapai 124 anak dan remaja sepanjang Januari-April 2023. (Wall Street International Magazine)

Bagikan:

JAKARTA – Kasus kekerasan seksual oleh K (50), guru ngaji di Kapanewon Gamping, Sleman, Yogyakarta yang terungkap pada Mei ini menambah panjang daftar tindak kekerasan seksual yang terjadi kepada anak. Seolah semakin menegaskan tidak ada lagi tempat yang aman bagi anak-anak. Guru yang seharusnya memberi teladan justru menjadi sumber malapetaka.

Perilaku bejat guru ngaji tersebut diketahui sudah dilakukan sejak awal tahun 2022. Korbannya adalah anak didiknya yang berusia berusia 6-16 tahun.

Sejauh ini menurut Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar baru empat korban yang sudah melapor ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sleman. Nahar menduga masih ada beberapa korban lainnya.

"Kami tentu sangat menyesalkan kembali terjadinya tindak pidana kekerasan seksual berupa pencabulan dan persetubuhan yang dilakukan oleh terduga pelaku oknum guru ngaji terhadap anak didiknya," kata Nahar dalam keterangannya dikutip pada 4 Mei 2023.

Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyebut jumlah korban K mencapai 15 orang, di antaranya dua kakak-beradik dan 1 korban berusia 16 tahun yang mengalami pemerkosaan.

Tindak kekerasan seksual terhadap anak sudah dalam tahap mengkhawatirkan. (Antara)

Modus pelaku adalah memberikan doktrin. Dengan relasi kuasa, pelaku dapat mudah memerintahkan korban agar patuh terhadapnya. Tak hanya hal-hal positif, korban pun harus mau melaksanakan perintah-perintah bejat dari guru.

Bahkan, kata Retno, “Kerap marah-marah dan mengancam korban jika permintaannya tidak dituruti.”

Retno tak menampik kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Pada Januari 2023 juga terungkap kasus serupa di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Guru ngaji berinisial M (28) melakukan tindakan asusila terhadap 21 muridnya yang masih berusia 5-13 tahun.

Tak hanya di tempat pengajian anak-anak, kasus kekerasan seksual juga kerap terjadi di lingkungan pendidikan baik yang berada di bawah kewenangan Kemendikbud Ristek maupun satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama.

FSGI mencatat hanya dalam periode Januari-April 2023 saja sudah terjadi 15 kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban mencapai 124 anak dan remaja.

Sebanyak 46,67 persen terjadi dijenjang sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah, 13,33 persen di jenjang SMP, 7,67 persen terjadi di SMK, dan 33,33 persen di Pondok Pesantren.

“Status pelaku 40 persen adalah guru atau ustad, 33 persen pimpinan dan pengasuh pondok pesantren, 20 persen kepala sekolah, dan 6,67 persen penjaga sekolah. Semuanya laki-laki,” kata Retno dalam keterangannya yang diterima VOI pada 2 Mei 2023.

Upaya Pencegahan

Atas dasar itulah, FSGI mengajak semua pihak untuk berbenah. Pemerintah Pusat maupun daerah perlu memastikan para pendidik yang menjadi pelaku  kekerasan seksual pada anak didiknya harus dipidana. Jalankan mandat dari UU RI No. 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual yang menyatakan perkara tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan.

“Ini untuk memberikan efek jera. Kalau hukumannya hanya mutasi, kemungkinan justru terjadi perilaku serupa nantinya, malah muncul korban baru,” kata Retno.

Selain itu, FSGI mendorong Kemendikbud Ristek melakukan sosialisasi secara masif mengenai implementasi kebijakan dari Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan Pendidikan, termasuk menyosialisasi juga hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129 untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami.

Serta, mendorong Kementerian Agama RI melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan Seksual di Madrasah dan pondok pesantren.

Yang tak kalah penting juga peran aktif orangtua. Retno menilai orangtua perlu memahami modus-modus yang lazim digunakan oleh pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Harapannya, dapat lebih menanamkan pesan kepada anak mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti. (Antara/Dewanto Samodro)

Merujuk dari 15 kasus tersebut, ada 11 modus pelaku dalam melancarkan aksi bejatnya terhadap anak korban, yakni sebagai berikut :

  1. Dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik Ponpes.
  2. Valuasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 WIB kemudian dicabuli.
  3. Diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku.
  4. Lapor dilecehkan teman sekolah ke Kepala sekolah, malah dicabuli Kepsek di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan.
  5. Guru kelas menyentuh pinggang dan dada, siswinya melawan, namun si guru malah mengulangi.
  6. Guru agama periksa PR, siswi dipangku dan diminta kakinya mengangkang.
  7. Korban diberi uang dan diajak ke kantin, lalu diciumi dan diremas dadanya.
  8. Menutup muka korban dengan handuk saat pembelajaran terkait materi indera perasa, pelaku kemudian melakukan perbuatan cabul.
  9. Saat bertindak sebagai pembina dalam kegiatan Masa Bimbingan Fisik dan Mental (Madabintal) peserta didik baru di bumi perkemahan, pelaku mencabuli 3 siswi yang merupakan kawan 1 kelompok di salah satu Pos jaga.
  10. Pelaku berpura-pura menikahi korban secara siri tanpa wali maupun saksi nikah. Setelahnya, pelaku melakukan kekerasan seksual kepada para santriwatinya dengan dalih sudah suami istri.

Untuk kasus kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan berasrama berbasis agama, FSGI menilai relasi kuasa antara tokoh agama dan santrinya  melekat kuat di pesantren. Perkataan guru atau ustad merupakan sesuatu yang harus dilakukan jika tidak akan mengurangi keberkahan maupun syafaat.

“Sehingga, pelaku  biasanya dianggap memiliki kebenaran hakiki baik ucapan maupun tindakannya. Dampaknya hanya sedikit masyarakat yang mempercayai kebenaran peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban yang notabene masih di bawah umur,” tegas Retno.

Selain itu, orangtua pun perlu memberikan pendidikan seks sedari dini, tentu harus disesuaikan dengan usia anak. Tujuannya agar anak-anak dapat lebih mawas diri dari segala bentuk kekerasan seksual. Juga, berani berbicara atas apa yang dialaminya.

“Pendidikan seks termasuk Pendidikan Kesehatan reproduksi dapat mencegah anak-anak kita menjadi korban kekerasan seksual, karena banyak anak tidak tahu kalau dirinya dilecehkan atau dicabuli karena minimnya pengetahuan tentang hal tersebut,” imbuh Retno.