Legalisasi Ganja Memang Bukan Kompetisi, Tapi Indonesia Makin Jauh Tertinggal
Ilustrasi foto (Ahmed Zayan/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Setelah melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis dan penelitian pada 2017, kini Thailand memasuki tahap baru pemanfaatan ganja. Otoritas menyetujui amandemen terkait regulasi narkotika yang meregulasi pemanfaatan ganja lebih luas. Legalisasi ganja memang bukan kompetisi. Tapi, Indonesia jelas makin jauh tertinggal.

Melansir Reuters, dalam amandemen terbaru, tertuang butir yang memberi kesempatan pada perusahaan swasta untuk membudidayakan tanaman ganja, baik untuk produksi obat-obatan maupun kepentingan medis lainnya. Suatu kemajuan, mengingat sebelumnya hanya pemerintah saja yang memiliki wewenang menanam ganja.

Tak hanya itu. Amandemen mencantumkan butir lain yang memungkinkan pasien pengobatan ganja untuk memproduksi, mengekspor, ataupun menjual daun ganja. Selama untuk kepentingan medis, pastinya.

"Undang-undang itu akan mempromosikan industri farmasi dan meningkatkan daya saing, yang akan penting bagi Thailand untuk menjadi pemimpin dalam ganja medis," Menteri Kesehatan Masyarakat Anutin Charnvirakul, Rabu, 5 Agustus.

Langkah Thailand melegalisasi ganja tampak begitu kontras dengan Indonesia. Di Indonesia, kepemilikan ganja adalah ilegal. Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan mengatakan apa yang dilakukan Thailand harus dapat jadi cerminan Indonesia dalam memanfaatkan ganja.

Karenanya, ia mendesak Kementerian Kesehatan untuk menyelenggarakan riset tentang ganja medis. “Saya masih dalam posisi mendukung ganja ini untuk kepentingan medis. Akan tetapi dengan catatan khusus, kita melakukan riset terlebih dahulu.”

Hinca beranggapan pemerintah Indonesia terkesan selalu tutup mata. Padahal sudah banyak negara yang jadi contoh. Padahal, dari segi sumber daya, Indonesia sangat mampu melakukan riset.

Tak sebebas Thailand

Meski begitu, Hinca tak sepakat apabila swasta maupun individu dapat memproduksi dan menjual ganja seperti yang digaungkan dalam amandemen baru Thailand. Di mata Hinca, produksi, distribusi, dan izin penggunaan ganja untuk medis tetap harus diatur oleh pemerintah.

“Memang sudah banyak contoh negara yang melakukan. Tapi sebagai sebuah sovereign state kita tetap butuh blueprint dan landasan ilmiah tentang kegunaan ganja ini. Dalam hal ini untuk kepentingan medis,” kata Hinca kepada VOI, Kamis, 6 Agustus.

“Pemerintah masih memegang senjata. Tak ada keinginan bersama melakukan riset ganja menjadi nyata. Bahkan negara ini tidak punya cita-cita itu.”

Dalam keterangan di atas, Hinca menjabarkan bahwa pemerintah cenderung menganggap tanaman ganja hanya dapat menyebabkan efek negatif bagi penggunanya. Stigma buruk tanaman ganja yang dianggap tak memiliki manfaat dapat terus langgeng di kepala masyarakat Indonesia.

“Dari hasil riset nanti kita akan ketahui, penyakit apa saja yang dapat diobati oleh tanaman ganja ini. Berapa besar dosisnya, bagian mana dari tanaman ganja yang berfungsi menyembuhkan, berapa lama harus menggunakannya dan lain-lain sebagainya,” ucapnya.

Skema pemanfaatan ganja

Sebagai wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia, Hinca ingin diskusi seputar ganja untuk kepentingan medis medis berkembang dan tak melulu jalan di tempat seperti sekarang ini. Atas dasar itulah Hinca mencoba memberi gambaran skema yang dapat dilakukan pemerintah untuk tanaman ganja.

“Pertama, tanaman ganja harus dipisahkan dari Narkotika Golongan I. Sebab dalam pasal 6 ayat (1) UU Narkotika disebutkan bahwa golongan ini hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi,” kata Hinca.

Hinca berpendapat, selama ganja masih masuk ke dalam narkotika golongan I, pemanfaatan ganja akan mandek. Hal itu mengingat selama tanaman ganja berada dalam ketegori narkotika golongan I, maka selama itu pula tanaman ganja takkan dapat digunakan untuk kepertingan medis.

“Kedua, membuat pengaturan khusus tentang tanaman ganja. Beberapa negara sudah melakukan ini. Amerika Serikat misalnya. Pada 2019 lalu perdebatan panjang mereka tentang ganja memang masih berlangsung sampai hari ini.”

Dalam hal ini, Hinca mencontohkan apa yang dilakukan oleh House Judiciary Committee AS tahun lalu untuk melakukan voting terkait pemanfaatan ganja. Alhasil, mayoritas menduduk RUU The Marijuana Opportunity, Reinvestment, and Expungement (MORE) Act. Sekalipun, masih bertempur keras secara politik di Senat AS.

“Ketiga, segera dibentuk sebuah lembaga yang mengatur pemberian izin penggunaan ganja untuk medis. Cara seperti ini dilakukan oleh Korea Selatan pada 2018 lalu. Mereka sudah lakukan reformasi besar dalam hal legalisasi ganja untuk kepentingan medis,” tambahnya.

Jadi, jika ada seseorang yang menderita penyakit langka dan tidak dapat disembuhkan, maka tanaman ganja dapat digunakan untuk pengobatan. Akan tetapi, pasien tersebut harus mendapat izin dari sebuah lembaga yang bernama Korea Orphan Drugs Center.

“Perlu diketahui, saat ini telah tersedia beragam pilihan untuk menjawab misteri tanaman ganja ini. Tapi negara kita sepertinya masih sangat nyaman berdiam dalam kegelapan dan ketidaktahuan akan kegunaan ganja. Riset, riset dan riset. Itulah yang perlu dilakukan, dan harus,” tutup Hinca.