Kapan KPK Panggil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan Terkait Dugaan Korupsi Pengadaan Tanah Munjul?
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana akan memanggil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai saksi dalam dugaan korupsi pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta tahun 2019 yang merugikan negara hingga Rp12,5 miliar.

Hanya saja, belum diketahui pasti kapan pemanggilan tersebut karena penyidik masih mendalami kasus yang menjerat mantan Direktur Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Cornelis.

"Saat ini proses penyidikan perkara ini masih terus dilakukan dengan pengumpulan bukti baik keterangan saksi-saksi maupun bukti-bukti lainnya," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri saat dihubungi VOI, Senin, 19 Juli.

Meski begitu, dia memastikan siapapun akan dipanggil tanpa terkecuali. Apalagi, jika mereka mengetahui tindakan rasuah yang diduga dilakukan oleh para tersangka.

"Siapa pun yang diduga mengetahui rangkaian peristiwa perkara tersebut sehingga menjadi lebih terang dugaan perbuatan tersangka dalam perkara ini pasti akan kami panggil sebagai saksi," tegasnya.

"Selanjutnya, mengenai pihak yang akan kami panggil sebagai saksi berikutnya guna kebutuhan melengkapi pembuktian perkara akan diinformasikan lebih lanjut," imbuh Ali.

Adapun pemanggilan terhadap Anies Baswedan awalnya disampaikan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Bukan hanya Anies, dia menyebut, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi juga bisa saja dipanggil demi memperjelas tindak rasuah tersebut.

"Terkait program pengadaan lahan tentu dalam penyusunan program anggaran APBD DKI tentu Gubernur DKI sangat memahami begitu juga DPRD DKI yang punya tugas kewenangan menetapkan RAPBD menjadi APBD bersama Pemda DKI," ungkap Firli kepada wartawan, Senin, 12 Juli.

"Jadi tentu perlu dimintai keterangan sehingga menjadi terang benderang," imbuhnya.

Terkait keinginan KPK memanggil Anies dan Prasetio, anggota Fraksi PDIP DPRD DKI Gilbert Simanjuntak mengaku pihaknya mendukung. Apalagi hal ini sesuai dengan wewenang dan tugas komisi antirasuah.

"Itu wewenang dan tugas KPK. Sesuai hasil KPK saja agar tidak menjadi isu tapi ada tindak lanjut," kata Gilbert kepada VOI, Selasa, 13 Juli.

Dukungan serupa juga disampaikan Ketua DPW PSI DKI Jakarta Michael Victor Sianipar. Dia menilai, KPK mesti mengusut tuntas kasus korupsi pengadaan tanah tersebut.

"Kasus ini harus segera dibongkar agar KPK bisa segera sita kembali kerugian negara dan uangnya bisa kita gunakan untuk tanggap darurat Pandemi COVID-19 di Jakarta," kata Michael kepada wartawan, Senin, 12 Juli.

Michael menyebut KPK tak perlu ragu memanggil pejabat yang terlibat ataupun mengetahui proses pengadaan tanah di Munjul, agar duduk perkara korupsi tersebut dapat diungkap.

"Sekalipun itu Gubernur Anies ataupun anggota DPRD semua harus siap dipanggil dan memberi keterangan karena rakyat jelas dirugikan dari korupsi ini," ujarnya.

Sedangkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria justru membela Anies. Dia yakin Anies tak terlibat dalam praktik koruspi yang dilakukan eks Dirut Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Pinontoan.

"Sejauh yang saya tahu beliau tidak terlibat. Saya tidak tahu masalah itu dan saya yakin Pak Anies tidak terlibat oleh kasus-kasus seperti itu," kata Wagub Riza di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Rabu, 14 Juli.

Tapi Wagub Riza menyerahkan pengusutan kasus korupsi lahan program rumah DP Rp0 kepada KPK. Namun, ia kembali menegaskan bahwa Anies tak terlibat.

"Semua menjadi kewenangan daripada penegak hukum. Tapi saya yakin ya, Pak Anies jauh dari terlibat urusan sana di Jakarta," ungkap Riza.

Empat tersangka

Dalam kasus ini, KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus ini yaitu Direktur dan Wakil Direktur PT Adonara Propertindo yaitu Tommy Adrian serta Anja Runtuwene, mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles, dan Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur (ABAM) Rudy Hartono Iskandar.

Selain itu, KPK juga menetapkan PT Adonara Propertindo sebagai tersangka korupsi korporasi.

Kasus ini bermula saat Perumda Pembangunan Sarana Jaya yang merupakan BUMD di bidang properti mencari tanah di wilayah Jakarta untuk dimanfaatkan sebagai unit bisnis maupun bank tanah.

Selanjutnya, Perumda Pembangunan Sarana Jaya ini bekerja sama dengan PT Adonara Propertindo yang juga bergerak di bidang yang sama.

Dari kerja sama ini, pada 8 April 2019 lalu, disepakati penandatanganan Pengikatan Akta Perjanjian Jual Beli di hadapan notaris yang berlangsung di kantor Perumda Sarana Jaya. Tanda tangan ini dilakukan antara pihak pembeli yaitu Yoory dan Anja Runtuwene.

Masih di waktu yang sama tersebut, dilakukan pembayaran sebesar 50 persen atau sekitar sejumlah Rp108, 9 miliar ke rekening bank milik Anja pada Bank DKI. Berikutnya, atas perintah Yoory, pembayaran dilakukan sebesar Rp43,5 miliar.

Namun, dalam proses pengadaan tanah tersebut, Perumda Sarana Jaya diduga melakukan tindakan penyelewengan seperti tak melakukan kajian terhadap kelayakan objek tanah dan tak melakukan kajian appraisal tanpa didukung kelengkapan persyaratan sesuai peraturan terkait.

Selain itu, perusahaan BUMD ini juga diduga kuat melakukan proses dan tahapan pengadaan tanah tak sesuai prosedur dan ada dokumen yang disusun secara backdate, serta kesepakatan harga awal antara Anja dan Perumda Sarana Jaya dilakukan sebelum proses negosiasi dilakukan.