Sengkarut PPDB, DPR Usul Padukan Sistem Zonasi dan Gunakan Lagi Nilai Ujian Seperti NEM
Photo by Syahrul Alamsyah Wahid on Unsplash

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah diminta mengefektifkan satuan tugas (Satgas) Pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mau dibuat Kemendikbud Ristek menyusul banyaknya masalah dan protes terkait sistem zonasi Efektivitas Satgas diharapkan bisa mengurangi sengkarut PPDB.

"Masalah terbesar yang kita hadapi dalam dunia pendidikan adalah sistem zonasi. Di mana-mana orang berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah dengan berbagai cara yang kurang baik, seperti hanya numpang tinggal sementara dan juga persoalan data yang kurang signifikan,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, Selasa 25 Juli.

Seperti diketahui, banyak kecurangan terhadap praktik PPDB berbasis zonasi. Mulai dari temuan Kartu Keluarga (KK) palsu, sisipan nama pada KK sebagai anggota keluarga tambahan, hingga berbagai modus manipulasi yang dioperasikan semeyakinkan dan semasuk akal mungkin agar memenuhi syarat domisili sebagai prinsip dasar PPDB zonasi.

Terkait manipulasi jalur zonasi, Kemendikbudristek banyak menemukan upaya memasukkan anak ke kartu keluarga yang alamat rumahnya dekat dengan sekolah yang dituju. Bahkan Kemendikbudristek menemukan ada yang di dalam satu KK terdapat 10 hingga 20 anak.

Dede menilai perlu ada pengawasan yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk melakukan pemantauan karena berkaitan dengan data kependudukan.

“Persoalan ini harus melibatkan Kementerian lain. Terutama Kemendagri soal kewenangan pengawasan daerah. Karena diduga banyak kecurangan penerimaan murid baru dengan menggunakan perpindahan domisili,” jelasnya.

Satgas PPDB yang akan dibuat oleh Kemendikbudristek merupakan salah satu rekomendasi dari Komisi X DPR RI menyusul carut marut PPDB. Selain melibatkan kementerian/lembaga terkait, Satgas PPDB yang dibuat Kemendikbudristek juga harus berkoordinasi dengan dinas pendidikan (disdik) dan Ombudsman wilayah setempat yang di daerahnya terdapat masalah.

Ombudsman dilibatkan karena banyak pejabat daerah yang turut memanfaatkan proses PPDB demi kepentingan pribadi, dengan melakukan sejumlah pelanggaran.

"Kami minta dikuatkan Satgas PPDB bersama dengan Ombudsman terutama di daerah-daerah untuk melakukan fungsi pemantauan dan pengecekan atas penyimpangan-penyimpangan, termasuk memberikan sanksi kepada pejabat-pejabat berwenang yang mana justru banyak menjadikan PPDB ini semakin lebih bermasalah, seperti minta uang, titipan dan sebagainya," papar Dede.

Selain jalur zonasi, manipulasi juga banyak terjadi dalam sistem PPDB jalur prestasi. Sebab kriteria jalur prestasi tidak jelas, maka sering kali seleksi dengan cara ini dijadikan celah banyaknya titipan untuk dimasukkan ke sekolah yang dituju hingga tekanan kepada pihak sekolah.

Oleh karena itu, kata Dede, rekomendasi lain dari Komisi X DPR RI kepada Kemendikbudristek adalah terkait perbaikan sistem PPDB jalur prestasi.

“Dalam rekomendasi, Komisi X DPR juga mendesak Kemendikbudristek untuk memperjelas mekanisme, definisi dan kriteria pada jalur prestasi. Karena kriteria yang tidak jelas banyak dijadikan kesempatan pihak-pihak tertentu untuk melakukan manipulasi,” ucap legislator dari Dapil Jawa Barat II itu.

Dalam rekomendasinya, Komisi X DPR tegas meminta Kemendikbudristek untuk mengevaluasi total sistem PPDB. Komisi di DPR yang membidangi urusan pendidikan itu memberi tenggat waktu kepada Kemendikbudristek untuk melaporkan hasil evaluasi selambat-lambatnya pada akhir oktober 2023.

Apabila belum ada perbaikan, Komisi X DPR meminta Kemendikbudristek mengubah sistem PPDB zonasi. Mengingat persoalan mengenai PPDB zonasi selalu muncul di setiap tahun ajaran baru sejak sistem tersebut diberlakukan.

"Kalau setiap tahun permasalahan ini selalu terjadi, perlu ada perbaikan. Dan kami beri waktu sampai Oktober ini, jika masih belum ketemu solusi, maka ubah sistemnya," tegas Dede.

Mantan Wagub Jawa Barat ini memahami sistem zonasi pada PPDB bertujuan baik demi pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun Dede menilai sistem zonasi justru menimbulkan persoalan baru karena tidak dibarengi dengan pembangunan sekolah-sekolah negeri sesuai kebutuhan dan lokasi.

“Yang ada justru siswa-siswa terlalu memilih ke satu dua sekolah saja, sementara yang sekolah lain jadi sepi peminat. Seharusnya ini dipetakan. Termasuk juga kebutuhan guru yang kalau kita tarik ke belakang lagi masih menjadi PR besar dunia pendidikan kita,” ungkapnya.

Dede pun mengusulkan penerimaan siswa baru dikembalikan seperti sistem pendaftaran sekolah terdahulu, yakni seleksi berdasarkan nilai hasil ujian akhir sekolah seperti saat masih ada NEM (Nilai EBTANAS Murni). Namun sistem seperti ini diseleraskan dengan kebutuhan di masing-masing daerah.

"Maka kita akan minta segera membuat sistem baru yang lebih mengedepankan azas dan hak ke testing (ujian), misalnya bisa kembali kepada sistem ‘NEM’, namun testing-nya itu hanya buat pendaftar-pendaftar yang non-zonasi,” sebut Dede.

“Jadi sistem zonasi-nya masih tetap ada, ya zonasi bisa berkurang lah menjadi 20%, lalu ada sistem prestasi, itu non-akademik,” imbuhnya.

Selain pengembalian sistem, Pemerintah juga diminta mempertimbangkan untuk mengambil-alih tanggung jawab terhadap siswa-siswa yang tidak diterima di sekolah negeri. Seperti dengan memberi bantuan dana atau subsidi untuk siswa yang akhirnya terpaksa bersekolah di sekolah swasta, khususnya bagi anak dari keluarga kurang mampu.

“Karena banyak sekali keluarga yang terjebak pada masalah biaya pendidikan setelah anaknya tidak diterima di sekolah negeri. Jadi boleh bersekolah di swasta tapi dibiayai oleh negara, itu opsi yang lebih kuat lagi, tetapi nanti ujung-ujungnya adalah kemampuan anggaran negara harus siap," tutur Dede.