MK Tolak Ganja Medis, Kepala BNN: Saya Lebih Pilih Selamatkan Generasi Muda dari Narkoba
ILUSTRASI UNSPLASH

Bagikan:

BADUNG - Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Petrus Reinhard Golose mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU Narkotika terhadap UUD 1945 terkait penggunaan ganja medis untuk kesehatan. 

”Saya sangat mendukung keputusan MK," kata Petrus di Kuta, Badung, Bali, Kamis, 28 Juli.

“Dari awal saya nyatakan, saya tidak setuju dengan (legalisasi ganja). Saya lebih memilih menyelamatkan generasi muda, generasi saudara dan juga generasi yang akan datang dari pengaruh (narkotika)," sambungnya.

Menurutnya soal penelitian ganja untuk medis sdah dilakukan. Ganja terbagi dalam tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD).

"Kita melakukan penelitian, di ganja itu terbagi antara THC dan CBD.  yang dipermasalahkan adalah THC-nya. Tapi, ini perlu untuk regent-nya, untuk pemeriksaan dan selalu setiap ada barang bukti, kita melakukan (pemeriksaa) dan kandungan THC-nya termasuk tinggi untuk Indonesia," paparnya.

Menurut Petrus, negara yang melegalkan ganja malah punya dampak terkait peningkatan kasus kejahatan

"Apakah anda pengen negara yang kita cintai ini, Indonesia crime meningkat karena hanya dengan kita mengabaikan masalah-masalah yang lain?” ujar Petrus. 

Diberitakan sebelumnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dengan nomor Perkara 106/PUU-XVIII/2020.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya”, kata Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan amar putusan.

Tetapi MK meminta pemerintah segera melakukan pengkajian dan penelitian ilmiah mengenai pemanfaatan narkotika golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau pengobatan, yang hasilnya dapat digunakan untuk menentukan kebijakan, termasuk perubahan undang-undang.

Hal itu ditegaskan Mahkamah dalam pertimbangan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang diajukan sejumlah ibu dari penderita gangguan fungsi otak (cerebral palsy) serta lembaga swadaya masyarakat.

“Dibutuhkan kebijakan yang sangat komprehensif dan mendalam dengan melalui tahapan penting yang harus dimulai dengan penelitian dan pengkajian ilmiah,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo ketika membacakan pertimbangan putusan yang disiarkan secara daring di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI sebagaimana dilansir ANTARA, Rabu, 20 Juli.

Belum adanya pengkajian dan penelitian ilmiah terkait pemanfaatan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan atau terapi, kata Suhartoyo, membuat pemanfaatan narkotika golongan I secara imperatif hanya diperbolehkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan.

Di mana pembatasan tersebut dilakukan karena narkotika golongan I berpotensi menimbulkan ketergantungan sangat tinggi.

Suhartoyo menjelaskan di sisi lain Mahkamah melihat adanya kebutuhan yang sangat mendesak perihal kepastian dapat atau tidaknya narkotika golongan I dimanfaatkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau terapi.

"Mahkamah dapat memahami dan memiliki rasa empati pada penderita penyakit tertentu yang 'secara fenomenal' menurut para pemohon dapat disembuhkan dengan terapi yang menggunakan jenis narkotika golongan I,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Suhartoyo mengatakan pengkajian dan penelitian pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan ataupun terapi dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta setelah mendapat izin dari menteri kesehatan.

Pemerintah bersama dengan pemangku kepentingan, sambung Suhartoyo, juga harus mengatur secara detail tentang antisipasi kemungkinan adanya penyalahgunaan Narkotika Golongan I.